Ini Sejumlah Pandangan Ulama Perihal Hukum Berjenggot

- 1/27/2017

Ini Sejumlah Pandangan Ulama Perihal Hukum Berjenggot

 

Di antara keutamaan mengaji kitab hadits adalah kita dapat melihat kehidupan Nabi Muhammad SAW secara utuh, mulai dari kehidupan beragama, sosial, budaya, bahkan bentuk fisiknya. Namun pertanyaannya, apakah semua bentuk kehidupan Nabi SAW itu mesti kita amalkan?
Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah” (Surat Al-Hasyar ayat 7). Sekilas ayat ini bermakna umum, artinya segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad harus diamalkan, baik yang bersifat duniawi maupun agama. Akan tetapi, menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, ayat ini tidak berlaku umum, karena ada hadits yang mengkhususkan keumumannya.
Dalam hadis riwayat Muslim, Nabi SAW berkata:
إنما أنا بشر، إذا أمرتكم بشيء من دينكم فخذوه به، وإذا أمرتكم بشيء من رأيي فإنما أنا بشر
Artinya, “Sesungguhnya aku seorang manusia. Bila aku memerintahkan sesuatu yang berkaitan dengan agama maka patuhilah, namun bila aku memerintahkan sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka bagaimanapun aku juga seorang manusia,” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits ini, Imam Muslim dalam Shahih Muslim memberi judul salah satu babnya dengan redaksi:
باب وجوب امتثال ما قاله شرعا دون ما ذكره من معايش الدنيا على سبيل الرأي
Artinya, “Kewajiban mengikuti perintah Rasul selama berkaitan dengan syariat, bukan sesuatu yang berkaitan dengan hal keduniawian yang berasal dari pendapat pribadi beliau.”
Dari kalimat ini dapat dipahami, tidak semua sesuatu yang berasal dari Nabi mesti diamalkan. Karena bagaimanapun beliau juga seorang manusia, yang memiliki pandangan pribadi, tinggal di sebuah komunitas yang memiliki sistem sosial dan budaya tersendiri. Maka dari itu, Kiai Ali menyimpulkan bahwa hadits yang mengandung unsur budaya Arab tidak wajib untuk diamalkan.
Kedudukan Jenggot
Sebagian orang menganggap bahwa jenggot identik dengan Islam. Sehingga ada kesan tidak sempurna keislaman seseorang bila tidak berjenggot. Karena mereka meyakini Nabi SAW berjenggot dan kita harus menirunya. Selain itu ada hadits yang bersumber dari Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda:
أحفوا الشوارب وأعفوا اللحى
Artinya, “Potonglah kumismu dan biarkan jenggotmu panjang,” (HR Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
خالفوا المشركين أحفوا الشوارب وأوفوا اللحى
Artinya, “Berbedalah dengan orang musyrik, potong kumismu dan biarkan jenggotmu panjang” (HR Muslim).
Hadits pertama mengindikasikan kewajiban memotong kumis dan memanjangkan jenggot. Sementara hadis kedua juga menyiratkan hal yang sama, namun di sana terdapat ‘illat atau alasan mengapa memanjangkan jenggot termasuk kesunahan.
Menurut Kiai Ali Mustafa, hadits tidak dapat dipahami sepotong-sepotong dan antara hadis dapat saling menafsirkan antara satu sama lainnya. Terlebih lagi, terkadang dalam satu tema yang sama, ada hadits yang diriwayatkan secara utuh dan ada yang tidak utuh. Karenanya, hadis yang redaksinya utuh seharusnya menjadi acuan untuk memahami hadis yang tidak utuh.
Dengan demikian, hadits kedua menjadi pedoman untuk memahami hadits pertama, karena redaksinya lebih lengkap. Implikasinya, aturan memanjangkan jenggot dan memotong kumis sangat terkait dengan anjuran mukhalafah lil musyrikin (berbeda dengan orang musyrik). Dalam pandangan Kiai Ali, yang menjadi perhatian utama dalam hadits ini adalah imbauan untuk berbeda dengan orang kafir, bukan aturan memanjangkan jenggotnya.
Akan tetapi perlu digarisbawahi, perintah Nabi SAW agar berbeda dengan orang kafir ini sangat terkait dengan konteks perperangan. Supaya bisa membedakan mana pasukan musuh dan umat Islam pada waktu perang, perlu diberikan simbol dan tanda pada masing-masing pasukan. Di antara tandanya adalah jenggot.
Karena itu, makna hadits ini tidak relevan dengan sendirinya pada masa sekarang. Dalam konteks dunia modern, jenggot tidak lagi menjadi simbol pembeda antara pasukan Muslim dan musuh. Selain itu, sebagian negara yang dihuni umat Islam, mereka dapat hidup berdampingan dengan orang non-Muslim. Sehingga tidak dibutuhkan lagi simbol pembeda antara orang Islam dengan non-Muslim.
Kiai Ali mengatakan:
ومع ذلك نحن نرى بأن ما يتعلق بالشعر من اللحية والشارب وشعر الرأس كل ذلك من باب لتقاليد والعادات وليس من باب الدين والعبادات
Artinya, “Maka dari itu, kami berpendapat bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan rambut, baik jenggot, kumis, dan rambut bagian dari budaya dan adat, bukan agama dan ibadah.
Menurut Kiai Ali, jenggot bukanlah bagian dari agama atau kesunahan, tetapi bagian dari budaya. Berjenggot atau tidak bukanlah standar keislaman. Silakan berjenggot, tapi jangan menganggap orang yang tidak berjenggot sebagai orang yang tidak mengikuti sunah Nabi. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah) via nu online

Source Article and Picture : www.wartaislami.com

Seputar Ini Sejumlah Pandangan Ulama Perihal Hukum Berjenggot

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Ini Sejumlah Pandangan Ulama Perihal Hukum Berjenggot