Oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Setelah mengikuti acara Maulid Nabi semalam, tiba-tiba di benak saya terngiang sebuah syair pemujaan atas Nabi dalam kitab Al-Barzanji: anta syamsun, anta badrun, anta nuurun fauqa nuuri (engkau Nabi laksana matahari, laksana rembulan purnama, engkau cahaya di atas cahaya).
Tak hanya di syair itu. Nasida Ria, grup musik legendaris asal Semarang, membuat lagu berjudul "Nabi Muhammad Mataharinya Dunia" sebaga berikut:
"Di langit ada matahari
Bersinar menerangi bumi
Di langit ada matahari
Bersinar menerangi bumi
Cahayanya yang tajam
Menembus kegelapan
Menerangi seluruh alam
Di bumi ada para Nabi
Utusan Robbul Izzati
Di bumi ada para Nabi
Utusan Robbul Izzati
Membawa kebenaran
Menjaga kedholiman
Petunjuk jalan keselamatan
Nabi Muhammad Nabi akhiruzzaman
Rahmat bagi umat di seluruh alam
Nabi Muhammad mataharinya dunia
Yang bersinar abadi sepanjang Zaman
Nabi Muhammad bagai purnama
Di tengah malam gelap gulita
Nabi Muhammad bagai pelita
Cahayanya di atas cahaya
Wahai Kaum Muslimin Muslimat
Sampaikan Shalawat Salam"
Kemudian saya berpikir, terus menerus berpikir, bagaimana Nabi Muhammad SAW, pemimpin umat Islam itu "disamakan" dengan matahari. Dan perlahan, satu persatu ingatan dan gagasan tafsiran terkumpul dalam pikiran.
Ingatan saya pertama kali langsung kepada kata Guru Bangsa Emha Ainun Nadjib atau yang akrab dipanggil Cak Nun. Dalam situs caknun.com, ayah dari vokalis grup band Letto ini perbah menulis yang sedikit terkait matahari:
"Jangan terlalu membebani sekolahan, kampus, dosen-dosen dan skripsi atau keseluruhan dunia ilmu pengetahuan dengan harapan-harapan dan impian-impian. Jangan minta terlalu banyak kepada semua itu.
Kalau mencari ilmu, kearifan dan kemuliaan hidup, jangan andalkan itu semua. Lebih baik berharap kepada bagaimana caramu sendiri melihat dan memperlakukan matahari setiap pagi, dedaunan, tetangga, pasar atau impian-impian aneh setiap malam.
Mintalah ilmu kepada pemilikNya di setiap butiran udara."
Kemudian, dalam buku Tuhan Pun Berpuasa, yang terbit pertama kali pada 1996 oleh Penerbit Zaituna, Yogyakarta yang kemudian disuguhkan kembali oleh Penerbit Buku Kompas pada tahun 2012, Cak Nun menulis:
"Dengan amat setia Allah menerbitkan matahari tanpa peduli apakah kita pernah mensyukuri terbitnya matahari atau tidak. Allah memancarkan cahaya matahari tanpa menghitungnya dengan penghianatan yang kita lakukan atas-Nya setiap hari."
Dari sini saya berpikir, bahwa peran Nabi Muhammad di hari ini – di alam modern ini -begitu nyata – seperti matahari – meski kadang kita semua tak menyadarinya, apalagi mensyukurinya.
Sebagai contoh, dalam sehari-hari, selain hal-hal yang ubudiyyah seperti shalat dan muamalah seperti dalam jual beli, kita juga diajari bagaimana beriman. Percaya bahwa yang menentukan rizki, pembuat sakit, sedih, kecewa, kalah, dan lain sebagainya, itu datang dari Allah SWT. Dengan demikian, sebenarnya, hati dan mental kita memiliki kekuatan dan kepasrahan kepada-Nya.
Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah As-Sakandari menjelaskan, bahwa himmah, kemauan dan cita-cita kita takkan mampu menembus benteng takdir. Hal ini, tak bisa dianggap sepele. Orang yang tidak meyakini dan menggunakan ini dalam kehidupan sehari-hari, bisa stres dalam menjalani dan menghadapi hidup yang penuh persoalan ini.
Inilah mungkin, yang tak kelihatan – seperti matahari – yang dimiliki oleh umat Islam, meski ia kuang mampu, hidup seadanya dan seba pas-pasan, sudah bisa bersyukur dan memiliki orentasi akhirat, sehingga perilaku hidupnya seimbang, tak mau menyakiti apalagi mendhalimi orang lain. Ini berbeda misalnya, dengan beberapa selebitis – baik papan atas nasional maupun intenasional – yang di puncak kariernya bunuh diri. Beberapa tokoh dan pablik figur di luar artis, juga banyak yang demikian, minimal strees dan yang paling parah putus asa: bunuh diri.
Iman dan keyakinan yang diajarkan Nabi ini, seakan menjadi lentera yang menerangi dada kau muslimin, agar tak gelap menghadapi dunia. Kehadiran Nabi Muhammad saw, laiknya matahari, menerangi umat manusia setiap pagi, dengan iman, ilmu berikut perkembangannya, spiritualismenya, dan yang lebih utama adalah akhlaknya.
Kemudian, ketika malam hari, dalam syair tersebut, dikatakan Nabi laiknya bulan purnama. Ia menerangi malam yang gelap gulita. Ia cahaya di atas cahaya, yang menerangi manusia dari kegelapan: kekejaman, kesadisan, kesewenang-wenangan, penindasan, eksploitasi alam, dan lain sebagainya. Kehadirannya di dunia melebihi cahaya apapun di dunia.
Dan, mungkin inilah mengapa Allah SWT – Tuhan Semesta Alam – tidak shalat ketika meyuruh orang beiman shalat, tidak haji ketika menyuruh umat Islam yang mampu naik haji, tidak berzakat ketika menyuruh umat Islam zakat. Selain karena shalat adalah doa, sedangkan Allah dzat yang dimintai doa, zakat adalah membersihkan sedangkan Allah Dzat yang Maha Bersih dan haji adalah bertamu sedangkan Allah adalah Tuan Rumahnya. Maka, ketika memerintahkan orang beriman bershalawat kepada Nabi, Allah sudah, sedang dan senantiasa bershalawat kepadanya (yushalluna 'alan Nabii) – redaksinya menggunakan fiil mudlari'.
Artinya, betapa Allah tidak pernah berhenti bershalawat kepada kekasih-Nya, yang diibaratkan penyair sebagai mataharinya dunia.
Sedangkan kita, seperti kata Cak Nun, bahkan jarang sekali mensyukuri bagaimana matahari terbit di tiap pagi, apalagi mensyukuri nikmat-nikmat lain yang tak terhitung yang Allah beri.
Jika demikian, bisa dimisalkan bahwa matahari dunia kadang terjadi gerhana. Cahaya Nabi tertutup oleh kekuasaan, oleh jabatan, oleh nafsu, oleh kesenangan, oleh kecanggihan, oleh kemewahan, oleh permusuhan, oleh perbedaan dan oleh hal lain yang menutupi cahayanya sampai ke bumi. Ajaran, keteladanan, cinta dan sinar Nabi tertutupi, sehingga kita kadang berjalan di kegelapan, tanpa tahu arah dan tujuan, atau tahu tujuan tetapi berjalan tidak sesuai arah.
Di sini, kita menemukan signifikansi pembacaan sejarah Nabi, peringatan Maulid Nabi, mempelajari kembali sang Nabi, agar gerhana segera berakhir dan cahayanya menjadi terang kembali sampai ke bumi. Selain itu, kita juga percaya bahwa syafaat-nya – hak prerogatifnya – bisa menyelamatkan kita semua. Dan, bagi siapa yang menyenandungkan pujian kepadanya, akan menentramkan hati sehingga diliputi ketenangan, kebahagiaan dan cinta.
Shallu 'alan Nabii Muhammad!
Sumber : nu.or.id
Source Article and Picture :
www.wartaislami.com