Ketika Cak Nur “Mampir” di Kampung Saya

- 4/30/2017

Ketika Cak Nur “Mampir” di Kampung Saya

 
Oleh: Ulil Abshar Abdalla,
Wartaislami.com ~ Mungkin banyak yang mengira saya mulai mengembangkan pendekatan liberal dalam memahami Islam sejak sekolah di Amerika. Dugaan ini keliru sama sekali. Saya sudah mencicil liberalisme pemikiran sejak awal, saat saya masih belajar di sebuahpesantren kecil di desa Cebolek, Pati.

Dan itu bertaut dengan figur besar yang barubertahun-tahun kemudian bisa saya jumpai secara pribadi. Yakni Nurcholish Madjid aka Cak Nur.Ini semua bermula pada 1984. Itu tahun penting dalam formasi pemikiran saya. Pada tahun itu sebuah event penting berlangsung diSitubondo, Jawa Timur. YaituMuktamar NU ke-27. Muktamar ini bukan saja menjadi “turning point” dalam sejarah NU sebagai sebuah kelompok sosial. Tetapi juga bagi saya secara pribadi.Di muktamar inilah sosok besar yang sangat mempengaruhi formasi pemikiran saya, yaitu Abdurrahman Wahid aka GusDur, terpilih sebagai Ketua Umum PBNU.
Peristiwa ini dielu-elukan sebagai “defining moment” dalam sejarah NU. Gus Dur dianggap sosok muda yang membawa angin segar bagi NU.Figur Gus Dur sudah mulai ramai dibicarakan sejak beberapa tahun sebelumnya.Sejak 1983, saat saya masih duduk di Madrasah Aliyah Mathaliul Falah Kajen, Pati, saya sudah mulai mengikuti dengan penuh minat pemikiran dan pernyataan Gus Dur, baik di koran maupun di majalah. Akses saya ke Gus Dur saat itu adalah melalui Kompas, Tempo dan Jurnal Prisma.Ketertarikan saya pada Gus Dur membawa saya berkenalan juga dengan pemikiran-pemikiran intelektual Muslim lain seperti Cak Nur, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Jalaludddin Rakhmat, dll.
Dengan penuh antusiasme, saya memburu setiap yang ditulis atau dikatakan oleh Gus Dur dan Cak Nur di media massa. Saya tak pernah lupa laporanutama yang ditulis oleh Majalah Tempo tentang kiprah dan pemikiran Cak Nur. Judul laporan itu: Lokomotif Pembaharuan Islam. Kalau tak salah, edisi itu keluar pada 1984, beberapa saat setelah Cak Nur kembali ke tanah air setelah sekian tahun belajar di University of Chicago. Salah satu bagian dalam laporan itu yang terus menempel dalam ingatan saya hingga sekarang adalahfoto Cak Nur di kediaman pribadinya, dikepung dengan ribuan buku dan kitab.Sebagai anak kampung dari keluarga miskin, saya takjub bukan main: Bagaimana memiliki koleksi buku dan kitab sebanyak itu? Berapa biaya yang dibutuhkan? Tak ada perpustakaan yang memadai di sekolah saya saat itu.Laporan Tempo itu langsung mendapatkan tanggapan pro-kontra. Ada polemik yangcukup panjang di sana yang melibatkan sejumlah pemikir/penulis.
Ada Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Gus Dur, Jalaluddin Rakhmat, Daoed Joesoef, dan Cak Nur sendiri. Saya sangat menikmati polemik itu.Saya foto kopi seluruh kolompara penulis yang terlibat dalam polemik. Saya simpan.Saya baca berulang-ulang. Saya butuh membacanya berkali-kali sebelum mengertibenar maksud para penulisnya. Nalar saya saat itu masih terlalu sederhana untuk bisa memahami kompleksitas pemikiran pembaharuan Islam.Usai menamatkan pendidikan di madrasah Aliyah, saya diminta mengajar di sebuah sekolah di desa saya.
Saya menerimagaji pertama sebagai guru desa pada 1985 sebesar Rp. 12.500. Hal pertama yang saya lakukan usai menerima uang yang tak seberapa itu adalah bertolak ke kota Pati. Saya pergi ke Toko Buku Puas milik seorang pedagang Arab.Ada satu buku yang saya incar: Khazanah Intelektual Islam terbitan Bulan Bintang, penerbit yang mewarisi sejarah Masyumi. Buku itu disunting oleh Cak Nur. Ia menulis sebuah pengantar yang sangat panjang di sana mengenai asal-usul sekte Ahlussunnah wal Jamaah, tentang kemajuan peradabanIslam di masa lampau, serta sebab-sebab keruntuhannya.Tulisan itu benar-benar seperti percikan api yang membakar rasa ingin tahu saya. Sekaligus juga membuka mata saya.Buku itu masih saya simpan hingga sekarang untuk mengenang momen yang sangat bersejarah: momen ketika saya merasa terbuka dan mengalami fase “akil balig intelektual”. Katakan saja: A Buddha moment!Pada 1984, ada peristiwa lainyang selalu saya kenang. Itulah tahun ketika Jurnal Prisma menerbitkan edisi khusus mengenai pemikiran Islam. Gus Dur, Cak Nur, Amin Rais, Awad Bahasoan, Arif Mudatsir, dll. menulis di sana. Ada juga wawancara dengan Syafii Maarif. Saya mendapatkan edisi ini berkat pinjaman guru saya di madrasah Aliyah yang, kebetulan, menjadi pelanggan tetap Jurnal Prisma.Sejak berkenalan dengan pemikiran Cak Nur dan Gus Dur itu, saya seperti masuk dalam sebuah tualang pemikiran yang tak mungkin balik lagi.
Saya seperti pelautyang dengan penuh gelora berlayar di samudera luas: samudera pemikiran Islam yang luar biasa kaya dan memikat. Semua itu dimungkinkan gara-gara saya berkenalan dengan Cak Nur.Andai Cak Nur tak “mampir” di kampung saya melalui Tempo, Kompas, dan Jurnal Prisma, mungkin jalan hidup saya akan lain sama sekali. Saya merasa bersyukur bahwa dalam hidup ini saya pernah berkenalan dengan dua pendekar pemikiran Islam yang luar biasa: Gus Dur dan Cak Nur.Saat lebaran dua tahun lalu saya berkunjung ke rumah Cak Nur.
Saya langsung minta izin kepada isteri Cak Nur, Mbak Omi, untuk menjenguk koleksi buku-bukunya. Saya ingin melihat “first hand” koleksi buku yang dulu pernah nongol di majalah Tempo dan memukau saya sebagai santri desa. Melihat buku-buku Cak Nur di ruangan perpustakaan pribadinya itu, saya seperti mengalami déjà vu. Saya mengalami “excitement” yang luar biasa.Cak Nur wafat persis sehari sebelum saya berangkat kuliah ke Boston pada 29 Agustus 2005. Hari ini adalahhaul ke-10 tokoh yang saya kagumi itu. Saya merasa bangga pernah bertemu dan berkenalan dengan tokoh besar ini. Dia adalah “game changer” dalam hidup saya. Alfatihah…
Sumber : santrionline.net

Source Article and Picture : www.wartaislami.com

Seputar Ketika Cak Nur “Mampir” di Kampung Saya

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Ketika Cak Nur “Mampir” di Kampung Saya