Inilah Tiga Pilar Tarekat Bela Negara

- 7/10/2017

Inilah Tiga Pilar Tarekat Bela Negara

 
Para ulama tarekat dari dalam dan luar negeri dalam Konferensi Ulama Thariqah yang diselenggarakan Kanzus Sholawat di Hotel Santika Pekalongan, Jum'at (15/1).
Wartaislami.com ~ Indonesia hampir-hampir tidak pernah lekang dari riak-riak dan gejolak wacana serta gerakan keagamaan. Mulai wacana yang diusung kelompok fundamental dan liberal yang terlalu ciut untuk mampu mewadahi kekayaan khazanah Islam yang sangat luar biasa. Sampai gerakan kelompok radikal dan teroris yang dipenuhi tindakan brutal, teror dan pengeboman. Serta yang baru mencuat Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang terlarang. Lantas disusul pengeboman teroris ISIS di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta.
Untuk menjawab wacana dan gerakan yang mengganggu kedaulatan bangsa dan negara Indonesia, para ulama ahli thariqah (tarekat), menyatakan siap membela dan menjaga negara. Membuka jalan bagaimana bersikap menghadapi situasi bangsa, negara dan kecamuk dunia, khususnya gejolak di kawasan Timur Tengah. Itulah yang dibangun dalam Konferensi Ulama Thariqah Internasional bertajuk "Bela Negara: Konsep dan Urgensinya dalam Islam", Jumat (15/01/2015), di Pekalongan, Jawa Tengah.
Empunya gawe sekaligus Ketua Jam’iyyah Ahlit Thariqah al Muktabarah an Nahdliyyah KH Habib Luthfi bin Yahya menjelaskan tiga pilar sebagai solusi; akidah (ideologi), ekonomi dan pendidikan. Penulis akan mencoba mengeskplorasi ketiganya. Pertama, akidah. Yang dimaksud akidah ialah ideologi yang berwatak moderat (tawasuth) dan toleran (tasamuh). Bahwa watak ideologi yang moderat dan toleran hakikatnya membela negara. Karena akan menguatkan persatuan dan kesatuan serta membuat Indonesia tenteram.
Watak ideologi moderat akan berada di tengah-tengah. Misalnya, jika ada kubu-kubu atau aliran-aliran yang beragam dan saling bertolak belakang maka watak ideologi moderat akan berada di tengah. Tidak menjadi ekstrimis seperti membela mati-matian salah satu kubu dan aliran tertentu. Tetapi mejadi juru tengah atau juru damai di tengah pergolakan. Ideologi moderat memandang perbedaan sebagai kewajaran. Sedangkan segala bentuk pertikaian harus dihentikan.
Watak ideologi toleran (tasamuh) juga sangat pas untuk konteks Indonesia. Karena tidak bisa diingkari bumi Nusantara tercinta ini tersusun dari beragam jenis latar belakang manusia, suku, ras, bahasa, budaya, aliran kepercayaan dan agama. Maka, watak ideologi toleran akan menjunjung tinggi sikap toleransi atar sesama manusia. Meletakkan nilai-nilai kemanusiaan lebih unggul dari sentimen dan perbedaan apa pun. Jauh dari rasa ingin menuduh salah, sesat dan kafir kepada siapa saja yang tidak sama.
Penulis tegaskan, moderat (tawasuth) dan toleran (tasamuh) adalah watak, bukan sekadar nama. Kalau hanya nama, misalnya, bernama ‘ideologi moderat-toleran’ tetapi wataknya ekstrim dan intoleran maka ideologi ini hakikatnya tidak bertujuan membela negara. Sebaliknya, malah ikut mensukseskan langkah-langkah yang menuju kerusakan negara. Di mana-mana ekstrimisme dan intoleransi tidak pernah berujung kedamaian.
Kedua, ekonomi, artinya kesejahteraan lahiriyah. Merupakan tugas seluruh anak bangsa, khususnya bagi para ahli tarekat, bergerak untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat. Amaliyah zuhud sebagai bagian dari jalan spiritual dalam tarekat atau tasawuf memang menghendaki seseorang meninggalkan dunia. Namun, perlu diketahui bersama bahwa yang bertugas meninggalkan dunia adalah hati, bukan tangan. Hati bertugas senantiasa ingat yang menciptakan hati, Allah SWT, Tuhan Semesta Alam.
Sementara tangan bertugas menggenggam dunia. Mengeksplorasi, mengatur, mengolah dan mengelola kekayaan dunia sebesar-besarnya untuk kebaikan (maslahah) atau kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Agar segala bentuk kebutuhan manusia dapat terpenuhi dalam wujud yang sebaik-baiknya. Karena manusia adalah mahluk Tuhan paling mulia maka sudah sepantasnya memperoleh kemuliaan dalam kehidupan di dunia dan semoga di akhirat juga. Tugas demikian ini merupakan bagian tanggung jawab dari tangan-tangan kreatif para ahli tarekat.
Dengan lain kata, hati khusuk dan senantiasa bersama Tuhan, sedangkan tangan tetap menggenggam dunia. Artinya, melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat maka otomatis negara juga akan kuat. Oleh karena itu zuhud sebagai jalan spiritual para pengamal tarekat dalam konteks tersebut tidak lain dan tidak bukan akan punya andil nyata membela eksistensi negara. Yaitu, memperkuat dan memperkokoh bangunan negara melalui umat yang secara ekonomi kuat dan sejahtera.
Kalau tangan meninggalkan dunia sedangkan hati menggenggam dunia erat-erat maka itu bukan makna zuhud. Sekaligus bukan jalan spiritual bagi orang-orang ahli tarekat. Sikap tersebut juga tidak akan memiliki andil riil dalam upaya membela negara. Karena dari perspektif ekonomi tidak meningkatkan kesejahteraan umat dan tidak menguatkan bangunan lahiriyah rakyat. Alih-alih malah dapat mengeroposkan dan menggerogoti kekuatan negara dalam bentuk lemahnya ekonomi rakyat.
Ketiga, pendidikan. Ilmu adalah senjata. Tanpa penguasaan terhadapnya maka bangsa Indonesia akan mudah dikelabuhi, dibodohi dan dijajah kembali. Ilmu berkembang sangat pesat. Seperti, rekayasa sosial, kedokteran, antariksa, mikroba, persenjataan, bom atom, rekayasa tumbuhan dan buah-buahan, gadget, teknologi informasi dan media sosial yang terus bertambah canggih. Sebut satu saja, media sosial, kini seolah membuat dunia makin sempit dan mengalahkan pepatah ‘dunai tidak selebar duan kelor’.
Demi menguatkan bangunan bangsa dan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia maka mengusasi ilmu adalah wajib. Sebelumnya harus disampaikan bahwa ini bukan soal bagaimana membela negara dengan mengangkat senjata. Namun, soal bagaimana dunia Islam dan khususnya Indonesia, memiliki andil internasional dalam bidang keilmuan. Seperti, pencapaian Ibnu Rusyd (Averros), ulama, ahli filsafat dan kedokteran Islam. Berkat mengembangkan ilmunya kini dunia Barat Berjaya dalam ilmu pengobatan. Atau ulama-ilmuwan Islam Al Biruni penemu ‘teori heliosentris’ yang pencapaian keilmuannya mendahului Copernicus dan Galileo.
Oleh karena itu para pengamal tarekat harus memegang teguh agama, berbudaya juga berilmu. Berilmu saja tanpa berbudaya dan beragama tidak cukup. Artinya, tiga elemen tadi harus seiring sejalan dalam bangunan pendidikan. Sehingga bisa muncul generasi penerus bangsa yang berjatidiri budaya Indonesia, memiliki spiritualitas dalam beragama dan punya ilmu yang bisa diandalkan. Dan, intinya, jalan spiritual ahli tarekat harus diarahkan untuk membela bangsa dan menjaga eksistensi negara dari wacana dan gerakan yang membahayakan.
Arief Musthofifin, Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo, Editor in Chief Sahabat Indonesia Semarang dan Kader Muda NU Jawa Tengah
Tiga Pilar Tarekat Bela NegaraPara ulama tarekat dari dalam dan luar negeri dalam Konferensi Ulama Thariqah yang diselenggarakan Kanzus Sholawat di Hotel Santika Pekalongan, Jum'at (15/1).
Oleh Arief Musthofifin
Indonesia hampir-hampir tidak pernah lekang dari riak-riak dan gejolak wacana serta gerakan keagamaan. Mulai wacana yang diusung kelompok fundamental dan liberal yang terlalu ciut untuk mampu mewadahi kekayaan khazanah Islam yang sangat luar biasa. Sampai gerakan kelompok radikal dan teroris yang dipenuhi tindakan brutal, teror dan pengeboman. Serta yang baru mencuat Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang terlarang. Lantas disusul pengeboman teroris ISIS di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta.
Untuk menjawab wacana dan gerakan yang mengganggu kedaulatan bangsa dan negara Indonesia, para ulama ahli thariqah (tarekat), menyatakan siap membela dan menjaga negara. Membuka jalan bagaimana bersikap menghadapi situasi bangsa, negara dan kecamuk dunia, khususnya gejolak di kawasan Timur Tengah. Itulah yang dibangun dalam Konferensi Ulama Thariqah Internasional bertajuk "Bela Negara: Konsep dan Urgensinya dalam Islam", Jumat (15/01/2015), di Pekalongan, Jawa Tengah.
Empunya gawe sekaligus Ketua Jam’iyyah Ahlit Thariqah al Muktabarah an Nahdliyyah KH Habib Luthfi bin Yahya menjelaskan tiga pilar sebagai solusi; akidah (ideologi), ekonomi dan pendidikan. Penulis akan mencoba mengeskplorasi ketiganya. Pertama, akidah. Yang dimaksud akidah ialah ideologi yang berwatak moderat (tawasuth) dan toleran (tasamuh). Bahwa watak ideologi yang moderat dan toleran hakikatnya membela negara. Karena akan menguatkan persatuan dan kesatuan serta membuat Indonesia tenteram.
Watak ideologi moderat akan berada di tengah-tengah. Misalnya, jika ada kubu-kubu atau aliran-aliran yang beragam dan saling bertolak belakang maka watak ideologi moderat akan berada di tengah. Tidak menjadi ekstrimis seperti membela mati-matian salah satu kubu dan aliran tertentu. Tetapi mejadi juru tengah atau juru damai di tengah pergolakan. Ideologi moderat memandang perbedaan sebagai kewajaran. Sedangkan segala bentuk pertikaian harus dihentikan.
Watak ideologi toleran (tasamuh) juga sangat pas untuk konteks Indonesia. Karena tidak bisa diingkari bumi Nusantara tercinta ini tersusun dari beragam jenis latar belakang manusia, suku, ras, bahasa, budaya, aliran kepercayaan dan agama. Maka, watak ideologi toleran akan menjunjung tinggi sikap toleransi atar sesama manusia. Meletakkan nilai-nilai kemanusiaan lebih unggul dari sentimen dan perbedaan apa pun. Jauh dari rasa ingin menuduh salah, sesat dan kafir kepada siapa saja yang tidak sama.
Penulis tegaskan, moderat (tawasuth) dan toleran (tasamuh) adalah watak, bukan sekadar nama. Kalau hanya nama, misalnya, bernama ‘ideologi moderat-toleran’ tetapi wataknya ekstrim dan intoleran maka ideologi ini hakikatnya tidak bertujuan membela negara. Sebaliknya, malah ikut mensukseskan langkah-langkah yang menuju kerusakan negara. Di mana-mana ekstrimisme dan intoleransi tidak pernah berujung kedamaian.
Kedua, ekonomi, artinya kesejahteraan lahiriyah. Merupakan tugas seluruh anak bangsa, khususnya bagi para ahli tarekat, bergerak untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat. Amaliyah zuhud sebagai bagian dari jalan spiritual dalam tarekat atau tasawuf memang menghendaki seseorang meninggalkan dunia. Namun, perlu diketahui bersama bahwa yang bertugas meninggalkan dunia adalah hati, bukan tangan. Hati bertugas senantiasa ingat yang menciptakan hati, Allah SWT, Tuhan Semesta Alam.
Sementara tangan bertugas menggenggam dunia. Mengeksplorasi, mengatur, mengolah dan mengelola kekayaan dunia sebesar-besarnya untuk kebaikan (maslahah) atau kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Agar segala bentuk kebutuhan manusia dapat terpenuhi dalam wujud yang sebaik-baiknya. Karena manusia adalah mahluk Tuhan paling mulia maka sudah sepantasnya memperoleh kemuliaan dalam kehidupan di dunia dan semoga di akhirat juga. Tugas demikian ini merupakan bagian tanggung jawab dari tangan-tangan kreatif para ahli tarekat.
Dengan lain kata, hati khusuk dan senantiasa bersama Tuhan, sedangkan tangan tetap menggenggam dunia. Artinya, melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat maka otomatis negara juga akan kuat. Oleh karena itu zuhud sebagai jalan spiritual para pengamal tarekat dalam konteks tersebut tidak lain dan tidak bukan akan punya andil nyata membela eksistensi negara. Yaitu, memperkuat dan memperkokoh bangunan negara melalui umat yang secara ekonomi kuat dan sejahtera.
Kalau tangan meninggalkan dunia sedangkan hati menggenggam dunia erat-erat maka itu bukan makna zuhud. Sekaligus bukan jalan spiritual bagi orang-orang ahli tarekat. Sikap tersebut juga tidak akan memiliki andil riil dalam upaya membela negara. Karena dari perspektif ekonomi tidak meningkatkan kesejahteraan umat dan tidak menguatkan bangunan lahiriyah rakyat. Alih-alih malah dapat mengeroposkan dan menggerogoti kekuatan negara dalam bentuk lemahnya ekonomi rakyat.
Ketiga, pendidikan. Ilmu adalah senjata. Tanpa penguasaan terhadapnya maka bangsa Indonesia akan mudah dikelabuhi, dibodohi dan dijajah kembali. Ilmu berkembang sangat pesat. Seperti, rekayasa sosial, kedokteran, antariksa, mikroba, persenjataan, bom atom, rekayasa tumbuhan dan buah-buahan, gadget, teknologi informasi dan media sosial yang terus bertambah canggih. Sebut satu saja, media sosial, kini seolah membuat dunia makin sempit dan mengalahkan pepatah ‘dunai tidak selebar duan kelor’.
Demi menguatkan bangunan bangsa dan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia maka mengusasi ilmu adalah wajib. Sebelumnya harus disampaikan bahwa ini bukan soal bagaimana membela negara dengan mengangkat senjata. Namun, soal bagaimana dunia Islam dan khususnya Indonesia, memiliki andil internasional dalam bidang keilmuan. Seperti, pencapaian Ibnu Rusyd (Averros), ulama, ahli filsafat dan kedokteran Islam. Berkat mengembangkan ilmunya kini dunia Barat Berjaya dalam ilmu pengobatan. Atau ulama-ilmuwan Islam Al Biruni penemu ‘teori heliosentris’ yang pencapaian keilmuannya mendahului Copernicus dan Galileo.
Oleh karena itu para pengamal tarekat harus memegang teguh agama, berbudaya juga berilmu. Berilmu saja tanpa berbudaya dan beragama tidak cukup. Artinya, tiga elemen tadi harus seiring sejalan dalam bangunan pendidikan. Sehingga bisa muncul generasi penerus bangsa yang berjatidiri budaya Indonesia, memiliki spiritualitas dalam beragama dan punya ilmu yang bisa diandalkan. Dan, intinya, jalan spiritual ahli tarekat harus diarahkan untuk membela bangsa dan menjaga eksistensi negara dari wacana dan gerakan yang membahayakan.
Arief Musthofifin, Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo, Editor in Chief Sahabat Indonesia Semarang dan Kader Muda NU Jawa Tengah


Source Article and Picture : www.wartaislami.com

Seputar Inilah Tiga Pilar Tarekat Bela Negara

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Inilah Tiga Pilar Tarekat Bela Negara