Tentang Wudhu’

- 12/12/2016

Tentang Wudhu’

 


A. Pengertian

1. Bahasa

Kata wudhu’ ( الوُضوء ) dalam bahasa Arab berasal dari kata al-wadha’ah ( الوَضَاءَة ). Kata ini bermakna Al hasan ( الحسن ) yaitu kebaikan, dan juga sekaligus bermakna an-andzafah (النظافة ) yaitu kebersihan.[1]

2. Istilah

Sementara menurut istilah fiqih para ulama mazhab mendefinisikan wudhu menjadi beberapa pengertian antara lain:

Al Hanafiyah mendefiniskan pengertian wudhu sebagai: Membasuh dan menyapu pada anggota badan tertentu.[2]

Al Malikiyah mendefinisikan wudhu’ sebagai: Bersuci dengan menggunakan air yang mencakup anggota badan tertentu yaitu empat anggota badan dengan tata cara tertentu.[3]

Asy Syafi’iyah mendefiniskan istilah wudhu’ sebagai: Beberapa perbuatan tertentu yang dimulai dari niat, yaitu penggunaan air pada anggota badan tertentu dimulai dengan niat.[4]

Hanabilah mendefinisikan istilah wudhu’ sebagai: Penggunaan air yang suci pada keempat anggota tubuh yaitu wajah kedua tangan kepala dan kedua kaki dengan tata cara tertentu seusai dengan syariah yang dilakukan secara berurutan dengan sisa furudh.[5]

Sedangkan kata wadhuu‘ ( الوَضوء ) bermakna air yang digunakan untuk berwudhu’.

Wudhu’ adalah sebuah ibadah ritual untuk mensucikan diri dari hadats kecil dengan menggunakan media air. Yaitu dengan cara membasuh atau mengusap beberapa bagian anggota tubuh menggunakan air sambil berniat di dalam hati dan dilakukan sebagai sebuah ritual khas atau peribadatan. Bukan sekedar bertujuan untuk membersihkan secara fisik atas kotoran melainkan sebuah pola ibadah yang telah ditetapkan tata aturannya lewat wahyu dari langit dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

B. Masyru’iyah

Wudhu sudah disyariatkan sejak awal mula turunnya Islam bersamaan waktunya dengan diwajibkannya shalat di Mekkah jauh sebelum masa isra’ miraj ke langit. Malaikat Jibrilalaihissalam mengajarkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam gerakan shalat dan sebelumnya dia mengajarkan tata cara wudhu terlebih dahulu.

Kewajiban wudhu’ didasarkan pada Al Quran Al Karim, Sunnah An Nabawiyah dan juga ijma’ para ulama.

Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki… (QS Al Maidah: 6)

Sedangkan dari As Sunnah An Nabawiyah salah satu yang jadi landasan masyruiyah wudhu adalah hadits berikut ini:

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada shalat kecuali dengan wudhu’. Dan tidak ada wudhu’ bagi yang tidak menyebut nama Allah.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)

Dan para ulama seluruhnya telah berijma’ atas disyariatkannya wudhu buat orang yang akan mengerjakan shalat bilamana dia berhadats.

C. Hukum Wudhu

Hukum wudhu’ bisa wajib dan bisa sunnah tergantung konteks untuk apa kita berwudhu’.

1. Fardhu

Hukum wudhu’ menjadi fardhu atau wajib manakala seseorang akan melakukan hal-hal berikut ini:

a. Melakukan Shalat

Untuk melakukan shalat diwajibkan berwudhu’ baik untuk shalat wajib maupun shalat sunnah. Termasuk juga di dalamnya sujud tilawah. Dalilnya adalah ayat Al Quran Al Kariem berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki… (QS Al Maidah: 6)

Juga hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada shalat kecuali dengan wudhu’. Dan tidak ada wudhu’ bagi yang tidak menyebut nama Allah.(HR. Ahmad Abu Daud dan

Ibnu Majah)

Shalat kalian tidak akan diterima tanpa kesucian (berwudhu’) (HR. Bukhari dan Muslim)

b. Menyentuh Mushaf

Jumhur ulama umumnya menyatakan bahwa diharamkan menyentuh mushaf Al Quran bila seseorang dalam keadaan hadats kecil atau dalam kata lain bila tidak punya wudhu’.

Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa haram bagi orang yang dalam keadaan hadats kecil untuk menyentuh mushaf meski pun dengan alas atau batang lidi.

Sedangkan Al Hanafiyah meski mengharamkan sentuhan langsung namun bila dengan menggunakan alas atau batang lidi hukumnya boleh. Syaratnya alas atau batang lidi itu suci tidak mengandung najis.

Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS Al Waqi’ah: 79)

Serta hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:

Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada ‘Amr bin Hazm tertulis: Janganlah seseorang menyentuh Al Quran kecuali orang yang suci”.(HR. Malik).98

Keharaman menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil ini sudah menjadi ijma’ para ulama yang 98

Malik meriwayatkan hadits ini secara mursal, namun An-Nasa’i dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadits ini tersambung. Setidaknya hadits ini ma’lul (punya cacat) didukung 4 mazhab utama.[6]

Sedangkan pendapat yang mengatakan tidak haram yaitu pendapat mazhab Daud Ad-Dzahiri. Dalam pandangan mazhab ini yang diharamkan menyentuh mushaf hanyalah orang yang berhadats besar sedangkan yang berhadats kecil tidak diharamkan. Pendapat senada datang dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu.

c. Tawaf di Seputar Ka’bah

Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berwudhu’ untuk tawaf di ka’bah adalah fardhu. Kecuali Al Hanafiyah.

Hal itu didasari oleh hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi:

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda’Tawaf di Ka’bah itu adalah shalat kecuali Allah telah membolehkannya untuk berbicara saat tawaf. Siapa yang mau bicara saat tawaf maka bicaralah yang baik-baik.(HR. Ibnu Hibban Al Hakim dan Tirmizy)

2. Sunnah

Sedangkan yang bersifat sunnah adalah bila akan mengerjakan hal-hal berikut ini:

a. Mengulangi wudhu’ untuk tiap shalat

Hal itu didasarkan atas hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menyunnahkan setiap akan shalat untuk memperbaharui wudhu’ meskipun belum batal wudhu’nya. Dalilnya adalah hadits berikut ini:

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda’Seandainya tidak memberatkan ummatku pastilah aku akan perintahkan untuk berwudhu pada tiap mau shalat. Dan wudhu itu dengan bersiwak. (HR. Ahmad dengan isnad yang shahih)

Selain itu disunnah bagi tiap muslim untuk selalu tampil dalam keadaan berwudhu’ pada setiap kondisinya bila memungkinkan. Ini bukan keharusan melainkah sunnah yang baik untuk diamalkan.

Dari Tsauban bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda’Tidaklah menjaga wudhu’ kecuali orang yang beriman’. (HR. Ibnu Majah Al Hakim Ahmad dan Al Baihaqi)

b. Menyentuh Kitab-kitab Syar’iyah

Seperti kitab tafsir hadits aqidah fiqih dan lainnya. Namun bila di dalamnya lebih dominan ayat Al Quran Al Kariem maka hukumnya menjadi wajib.[7]

c. Ketika Akan Tidur

Al-Hanafiyah Asy-Syafi’iyah dan Al Hanabilah menyatakan bahwa berwuhu ketika akan tidur adalah sunnah sehingga seorang muslim tidur dalam keadaan suci.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Dari Al Barra’ bin Azib bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda’Bila kamu naik ranjang untuk tidur maka berwudhu’lah sebagaimana kamu berwudhu’ untuk shalat. Dan tidurlah dengan posisi di atas sisi kananmu . (HR. Bukhari dan Muslim).

Al-Malikiyah menyatakan bahwa wudhu sebelum tidur hukumnya mustahab. Dan dalam salah satu qaul dalam mazhab itu disebutkan bahwa wudhu’ junub disunnahkan sebelum tidur.

Sedangkan Al Baghawi dari kalangan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa wudhu menjelang tidur bukan merupakan sesuatu yang mustahab.[8]

d. Sebelum Mandi Janabah

Sebelum mandi janabat disunnahkan untuk berwudhu’ terlebih dahulu. Demikian juga disunnahkan berwudhu’ bila seorang yang dalam keaaan junub mau makan minum tidur atau mengulangi berjimak lagi. Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bila dalam keadaan junub dan ingin makan atau tidur beliau berwudhu’ terlebih dahulu. (HR. Ahmad dan Muslim)

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bila ingin tidur dalam keadaan junub beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ terlebih dahulu seperti wudhu’ untuk shalat. (HR. Jamaah)

Dan dasar tentang sunnahnya berwuhdu bagi suami istri yang ingin mengulangi hubungan seksual adalah hadits berikut ini:

Dari Abi Said Al Khudhri bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda’Bila kamu berhubungan seksual dengan istrimu dan ingin mengulanginya lagi maka hendaklah berwuhdu terlebih dahulu.(HR. Jamaah kecuali Bukhari)

e. Ketika Marah

Untuk meredakan marah ada dalil perintah dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk meredakannya dengan membasuh muka dan berwudhu’.

Bila kamu marah hendaklah kamu berwudhu’. (HR. Ahmad dalam musnadnya)

f. Ketika Membaca Al Quran

Hukum berwudhu ketika membaca Al Quran Al Kariem adalah sunnah bukan wajib. Berbeda dengan menyentuh mushaf menurut jumhur. Demikian juga hukumnya sunnah bila akan membaca hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam serta membaca kitab-kitab syariah.[9]

Diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika mengimla’kan pelajaran hadits kepada murid-muridnya beliau selalu berwudhu’ terlebih dahulu sebagai takzim kepada hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

g. Ketika Melantunkan Azan dan Iqamat

Para ulama sepakat disunnahkannya wudhu untuk orang yang melakukan adzan. Namun mereka berbeda pendapat bila dilakukan oleh orang yang mengumandangkan iqamat.[10]

h. Dzikir

Keempat mazhab yaitu Al Hanafiyah Al Malikiyah Asy- Syafi’iyah dan Al Hanabilah sepakat disunnahkannya wudhu ketika berdzikir.[11]

i. Khutbah

Jumhur ulama mengatakan bahwa wudhu untuk khutbah hukumnya mustahab. Lantaran Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tiap selesai khutbah langsung melakukan shalat tanpa berwudhu’ lagi. Setidaknya hukumnya menjadi sunnah.

Sedangkan dalam pandangan mazhab Al Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah berwudhu pada khutbah Jumat merupakan syarat sah.[12]

j. Ziarah Ke Makam Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Para ulama menyepakati bahwa ketika seseorang berziarah ke makam Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam maka disunnahkan atasnya untuk berwudhu. Berwudhu yang dilakukan itu merupakan bentuk pentakdzhiman atas diri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Selain itu karena letaknya hari ini yang berada di dalam masjid maka secara otomatis memang sudah disunnahkan untuk berwudhu sebelumnya.[13]

D. Wudhu’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Ada pun tata cara wudhu yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bisa kita baca dari hadits berikut ini:

Dari Humran bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu meminta seember air kemudian beliau mencuci kedua tapak tangannya tiga kali kemudian berkumur memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya. Kemudian beliau membasuh wajarnya tiga kali membasuh tanggan kanannya hingga siku tiga kali kemudian membasuh tanggan kirinya hingga siku tiga kali kemudian beliau mengusap kepalanya kemudian beliau membasuh kaki kanannya hingga mata kaki tiga kali begitu juga yang kiri. Kemudian beliau berkata”Aku telah melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu seperti wudhuku ini. (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun kalau dilihat sekilas hadits ini tentu saja belum merinci tentang rukun wudhu wajib dan sunnahnya. Semua dikerjakan begitu saja tanpa dijelaskan detail rincian hukumnya masing-masing.

Untuk mengetahuinya para ulama butuh mengumpulkan ratusan bahkan ribuan hadits lainnya yang terkait dengan wudhu juga sehingga akhirnya didapat kesimpulan-kesimpulan baik terkait dengan rukun wajib sunnnah dan hal-hal yang membatalkan wudhu.

E. Rukun Wudhu’

Rukun wudhu adalah bagian dari wudhu yang menjadi tulang penyangga utama, dimana bila salah satu rukun itu tidak terlaksana, maka wudhu itu menjadi batal hukumnya.

1. Perbedaan Ulama Dalam Menetapkan Rukun

Meski kedudukan rukun wudhu’ itu amat penting, namun demikian ternyata para ulama masih berbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu.

Ada yang menyebutkan 4 saja sebagaimana yang tercantum dalam ayat Quran, namun ada juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.

a. Mazhab Hanafi

Menurut Al Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada 4 sebagaimana yang disebutkan dalam nash Quran

b. Mazhab Maliki

Menurut Al Malikiyah rukun wudhu’ itu ada tujuh, yaitu dengan menambahkan keharusan niat danad-dalk, yaitu menggosok anggota wudhu’. Sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu’ dengan air masih belum bermakna mencuci atau membasuh. Juga beliau menambahkan kewajiban muwalat.

c. Mazhab Syafi’i

Menurut As Syafi’iyah rukun wudhu itu ada 6 perkara. Mazhab ini menambahi keempat hal dalam ayat Al Quran dengan niat dan tertib yaitu kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan dengan urut tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib

d. Mazhab Hambali

Menurut mazhab Al Hanabilah jumlah rukun wudhu ada 7 perkara yaitu dengan menambahkanniat, tertib dan muwalat yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu’.

Rukun Hanafi Maliki Syafi’i Hanbali

1. Niat x   

2. Membasuh wajah    

3. Membasuh tangan    

4. Mengusap kepala    

5. Membasuh kaki    

6. Tertib x x  

7. Muwalat x  x 

8. Ad Dalk x  x x

Jumlah 4 7 6 7

2. Niat Dalam Hati

Niat wudhu’ adalah ketetapan di dalam hati seseorang untuk melakukan serangkaian ritual yang bernama wudhu’ sesuai dengan apa yang ajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan maksud ibadah. Sehingga niat ini membedakan antara seorang yang sedang memperagakan wudhu’ dengan orang yang sedang melakukan wudhu’.

Kalau sekedar memperagakan tidak ada niat untuk melakukannya sebagai ritual ibadah. Sebaliknya ketika seorang berwudhu’ dia harus memastikan di dalam hatinya bahwa yang sedang dilakukannya ini adalah ritual ibadah berdasar petunjuk nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk tujuan tertentu.

3 Membasuh Wajah

Para ulama menetapkan bahwa batasan wajah seseorang itu adalah tempat tumbuhnya rambut (manabit asy-sya’ri) hingga ke dagu dan dari batas telinga kanan hingga batas telinga kiri.

4. Membasuh kedua tangan hingga siku

Secara jelas disebutkan tentang keharusan membasuh tangan hingga ke siku. Dan para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa siku harus ikut dibasahi. Sebab kata ( إلى ) dalam ayat itu adalah lintihail ghayah. Selain itu karena yang disebut dengan tangan adalah termasuk juga sikunya.

Selain itu juga diwajibkan untuk membahasi sela-sela jari dan juga apa yang ada di balik kukujari. Para ulama juga mengharuskan untuk menghapus kotoran yang ada di kuku bila dikhawatirkan akan menghalangi sampainya air.

Jumhur ulama juga mewajibkan untuk menggerakgerakkan cincin bila seorang memakai cincin ketika berwudhu agar air bisa sampai ke sela-sela cincin dan jari.

Namun Al Malikiyah tidak mengharuskan hal itu.

5. Mengusap Kepala

Yang dimaksud dengan mengusap adalah meraba atau menjalankan tangan ke bagian yang diusap dengan membasahi tangan sebelumnya dengan air. Sedangkan yang disebut kepala adalah mulai dari batas tumbuhnya rambut di bagian depan (dahi) ke arah belakang hingga ke bagian belakang kepala.

Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang wajib untuk diusap tidak semua bagian kepala melainkan sekadar sebagian kepala. Yaitu mulai ubun-ubun dan di atas telinga.

Sedangkan Al Malikiyah dan Al Hanabilah mengatakan bahwa yang wajib diusap pada bagian kepala adalah seluruh bagian kepala. Bahkan Al Hanabilah mewajibkan untuk membasuh juga kedua telinga baik belakang maupun depannya. Sebab menurut mereka kedua telinga itu bagian dari kepala juga.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

Dua telinga itu bagian dari kepala. Namun yang wajib hanya sekali saja tidak tiga kali.

Adapun Asy-Syafi’iyyah mengatakan bahwa yang wajib diusap dengan air hanyalah sebagian dari kepala meskipun hanya satu rambut saja. Dalil yang digunakan beliau adalah hadits Al Mughirah: Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika berwudhu’ mengusap ubun-ubunnya dan imamahnya (sorban yang melingkari kepala).

6. Mencuci Kaki Hingga Mata Kaki

Menurut jumhur ulama yang dimaksud dengan hingga mata kaki adalah membasahi mata kakinya itu juga. Sebagaimana dalam masalah membasahi siku tangan.

Secara khusus Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan tentang orang yang tidak membasahi kedua mata kakinya dengan sebutan celaka. Celakalah kedua mata kaki dari neraka.

7. Tartib

Yang dimaksud dengan tartib adalah mensucikan anggota wudhu secara berurutan mulai dari yang awal hingga yang akhir. Maka membasahi anggota wudhu secara acak akan menyalawi aturan wudhu. Urutannya sebagaimana yang disebutan dalam nash Quran yaitu wajah tangan kepala dan kaki.

Namun Al Hanafiyah dan Al Malikiyah tidak merupakan bagian dari fardhu wudhu’ melainkan hanya sunnah muakkadah. Akan halnya urutan yang disebutkan di dalam Al Quran hal itu bagi mereka tidaklah mengisyaratkan kewajiban urut-urutan. Sebab kata penghubunganya bukantsumma ( ثمّ ) yang bermakna: ‘kemudian’ atau ‘setelah itu’.

Selain itu ada dalil dari Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan:

Aku tidak peduli dari mana aku mulai. (HR. Ad-Daruquthuny)

Juga dari Ibnu Abbas:

Tidak mengapa memulai dengan dua kaki sebelum kedua tangan. (HR. Ad-Daruquthuny)

Namun As Syafi’i dan Al Hanabilah bersikerasmengatakan bahwa tertib urutan anggota yang dibasuh merupakan bagian dari fardhu dalam wudhu’. Sebab demikianlah selalu datangnya perintah dan contoh praktek wudhu’nya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau berwudhu’ dengan terbalik-balik urutannya.

Dan membasuh anggota dengan cara sekaligus semua dibasahi tidak dianggap sah.

8. Al Muwalat (Tidak Terputus)

Maksud Al muwalat adalah tidak adanya jeda yang lama ketika berpindah dari membasuh satu anggota wudhu’ ke anggota wudhu’ yang lainnya. Ukurannya menurut para ulama selama belum sampai mengering air wudhu’nya itu. Kasus ini bisa terjadi manakala seseorang berwudhu lalu ternyata setelah selesai wudhu’nya barulah dia tersadar masih ada bagian yang belum sepenuhnya basah oleh air wudhu. Maka menurut yang mewajibkan Al muwalat ini tidak sah bila hanya membasuh bagian yang belum sempat terbasahkan. Sebaliknya bagi yang tidak mewajibkannya hal itu bisa saja terjadi.

9. Ad Dalk

Yang dimaksud dengan ad-dalk adalah mengosokkan tangan ke atas anggota wudhu setelah dibasahi dengan air dan sebelum sempat kering. Hal ini tidak menjadi kewajiban menurut jumhur ulama namun khusus Al Malikiyah mewajibkannya.

Sebab sekedar menguyurkan air ke atas anggota tubuh tidak bisa dikatakan membasuh seperti yang dimaksud dalam Al Quran.

F. Sunnah-sunnah Wudhu’

Ada pun yang termasuk perbuatan yang sunnah dalam rangkaian ibadah wudhu antara lain:

1. Mencuci kedua tangan

Mencuci kedua tangan hingga pergelangan tangan sebelum mencelupkan tangan ke dalam wadah air.

Bila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnyahendaklah dia mencuci kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam wadah air. Karena kalian tidak tahu dimana tangannya semalam. (HR. Bukhari Muslim Ahmad Nasai Ibnu Majah Abu Daud)

Dalam riwayat lain disebutkan

Hingga dia mencuci tangannya tiga kali.

Menurut pendapat yang lebih kuat tidak harus sampai mencuci tangannya tiga kali.

Namun kalau menurut pendapat Al Hanabilah urusan mencuci kedua tangan ini menjadi wajib hukumnya yaitu buat mereka berwudhu dan baru bangun dari tidur di malam hari. Sedangkan bila wudhu yang bukan bangun dari tidur di malam hari mencuci kedua tangan tiga kali hukumnya sunnah.

2. Membaca basmalah sebelum berwudhu’

Dasarnya adalah hadits berikut ini:

Segala urusan yang tidak dimulai di dalamnya dengan bismillahirramanirrahim maka urusan itu terputus.[14]

3. Berkumur dan Istinsyaq

Berkumur adalah memasukkan air ke dalam mulut dan dikeluarkan lagi. Sedangkan istilahistinsyaq adalah memasukkan air ke hidung dengan tujuan membersihkannya. Mengeluarkannya lagi disebut dengan istilah istinstar.

Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum berkumur dalam wudhu adalah sunnah bukan wajib. Juga sunnah dalam rangkaian mandi janabah. Dasarnya bahwa berkumur itu bukan wajib tetapi sunnah adalah hadits berikut:

Berwudhu’lah kamu sebagaimana Allah perintahkan. (HR. At Tirmizy)[15]

Hadits ini berlatar-belakang ada seorang dusun yang tidak bisa shalat dan wudhu’. Lantas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallammengajarkannya dengan singkat tanpa berkumur kemudian beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan baginya untuk berwudhu seperti itu yaitu tanpa berkumur.

Selain itu juga karena ayat tentang wudhu yang menyebutkan kewajiban membasuh wajah dimana isi mulut bukan bagian dari wajah. Sehingga tidak termasuk yang wajib untuk dilakukan.

Al-Hanabilah mengatakan bahwa hukum berkumur dalam wudhu adalah wajib.

Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Berkumur dan istinsyaq pada wudhu adalah yang harus dilakukan. (HR. Ad-Daruquthny)

Selain itu mazhab ini berdalil bahwa dari semua riwayat hadits yang menceritakan teknis wudhu’nya beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam semuanya selalu disertai dengan berkumur dan istinsyaq.

Al-Hanafiyah dan Al Hanabilah dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa berkumur itu wajib untuk mandi janabah tapi sunnah untuk wudhu.

4. Bersiwak

Bersiwak artinya membersihkan gigi atau menggosoknya. Bila dilakukan pada rangkaian wudhu’ hukumnya sunnah bahkan sebagian ulama mengatakan hukumnya sunnah muakkadah.

Di antara dalil yang masyhur tentang kesunnahan berwudhu dengan menggosok gigi adalah hadits berikut ini:

Seandainya Aku tidak memberatkan ummatku pastilah aku perintahkan mereka untuk menggosok gigi setiap berwudhu’. (HR. Ahmad)

5. Meresapkan Air ke Jenggot

Dari Anas radhiyallahuanhu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bila berwudhu mengambil secukupnya dari air ke bawah dagunya dan mesesapkan air ke jenggotnya. Beliau bersabda: “Beginilah Tuhanku memerintahkanku.” (HR. Abu Daud)

6. Membasuh Tiga Kali

Selain mengusap kepala disunnahkan untuk membasuh masing-masing anggota wudhu’ sebanyak tiga kali.

Dalilnya adalah ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu dan membasuh masing-masing anggota wudhu’ sekali beliau mengatakan

“Ini adalah amal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerimanya kecuali dengan cara ini”.

Kemudian beliau wudhu dengan membasuh anggota wudhu masing-masing dua kali dan bersabda:

“Ini yang membuat Allah melipatgandakan amal dua kali lipat”

Kemudian beliau membasuh masing-masing tiga kali dan bersabda:

Ini adalah wudhu’ku dan wudhu’nya para nabi sebelumku.(HR. Ad-Daruquthuny)

Sedangkan untuk mengusap kepala tidak disunnahkan melakukannya tiga kali dengan dasar hadits berikut ini:

Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu dan mengusap kepalanya sekali saja (HR. At-Tirmizy)

7. Membasahi seluruh kepala dengan air

Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa disunnahkan untuk mengusap seluruh bagian kepala dengan air bukan mengguyurnya.

Sedangkan Al Malikiyah dan Al Hanabilah mewajibkan untuk meratakan seluruh kepala ketika mengusapnya.

Cara mengusap atau meratakan usapan ke seluruh kepada dengan meletakkan kedua tangan di depan wajah sambil menempelkan kedua jari telunjuk dan meletakkan ibu jari pada pelipis. Lalu kedua tangan itu digerakkan mundur ke arah atas dan belakang kepala. Setelah itu arah gerakan kedua tangan itu dikembalikan lagi ke arah semula.

8. Membasuh dua telinga

Al-Hanafiyah Al Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa disunnahkan untuk membasuh daun telinga luar dan dalam dengan air yang baru. Hal itu karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mempraktekkannya.

9. Mendahulukan Kanan

Dalilnya adalah hadits yang shahih sebagai berikut:

Bila kalian berwudhu maka mulailah dari bagian-bagian kananmu. (HR. Ahmad Abu Daud Ibnu Majah Ibnu Khuzaimah Ibnu Hibban dan Al Baihaqi)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu suka mendahulukan bagian kanan ketika memakai sendal menyisir rambut dan bersuci bahkan dalam semua kesempatan. (HR. Bukhari Muslim)

10. Takhlil

Yang dimaksud dengan takhlil adalah takhlilul-ashabi’ yaitu membasahi sela-sela jari dengan air. Dalilnya adalah hadits berikut ini:

Ratakanlah wudhu dan basahi sela-sela jari dengan air. (HR. At-Tirmizy)

G. Batalnya Wudhu’

Hal-hal yang bisa membatalkan wudhu’ ada 5 perkara.

1. Keluarnya Sesuatu Lewat Kemaluan.

Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian depan dan belakang. Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair seperti air kencing mani wadi mazi atau apapun yang cair. Juga berupa benda padat seperti kotoran batu ginjal cacing atau lainny. Pendeknya apapun juga benda gas seperti kentut. Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur membuat wudhu’ yang bersangkutan menjadi batal.

2. Tidur

Tidur yang bukan dalam posisi tamakkun (tetap) di atas bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu’ (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding.

Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan wudhu’ sebagaimana hadits berikut:

Dari Anas Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa para shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidur kemudian shalat tanpa berwudhu’ (HR. Muslim) – Abu Daud menambahkan: Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

3. Hilang Akal

Hilang akal baik karena mabuk atau sakit. Seorang yang minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk makawudhu’ nya batal. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri juga batal wudhu’nya.

Demikian juga orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan dimana kesadarannya sempathilang beberapa waktu wudhu’nya batal. Kalau mau shalat harus mengulangi wudhu’nya.

4. Menyentuh Kemaluan

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)[16]

Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri atau pun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang masih hidup atau pun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.

Namun para ulama mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan dimana hal itu tidak membatalkan wudhu’.

5. Menyentuh kulit lawan jenis

Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram (mazhab As Syafi’iyah) termasuk hal yang membatalkan wudhu.

Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu’. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka tidak memandang demikian.

Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al Quran yaitu:

atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS An-Nisa: 43)

a. Pendapat Yang Membatalkan

Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima’ (hubungan seksual).Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wudhu’.

Ulama kalangan As Syafi’iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu’.

Menurut mereka bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.

Dan Imam Asy-Syafi’i nampaknya tidak menerima hadits Ma’bad bin Nabatah dalam masalah mencium.

Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah maka kita juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu’nya adalah yang sengaja menyentuh sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh maka tidak batal wudhu’nya.

Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka bila sentuhan itu antarasuami istri tidak membatalkan wudhu’.

b. Pendapat Yang Tidak Membatalkan

Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalamarti fisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu’. Pendapat ini didukung oleh Al Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.

Sedangkan Al Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah) maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu’.

Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi.

Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu’”. Lalu ditanya kepada Aisyah,”Siapakah istri yang dimaksud selain anda ?”. Lalu Aisyah tertawa.(HR. Turmuzi Abu Daud An-Nasai Ibnu Majah dan Ahmad).


[1] Lihat Al Mu’jam Al Wasith bab Wau



[2] Al Ikhtiar jilid 1 halaman 7



[3] Asy-Syarhush Shaghir wal Hasyiatu Alaihi jilid 1 halaman 104



[4] Mughni Al Muhtaj jilid 1 halaman 47



[5] Kasysyaf Al Qinna jilid 1 halaman 82



[6] Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, jilid 1 halaman 398



[7] Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, jilid 1 halaman 362



[8] Al Majmu’ jilid 1 halaman 324



[9] Al Hawi lil Mawardi jilid 1 halaman 111



[10] Mawahibul Jalil jilid 1 halaman 181



[11] Al Futuhat Ar-Rabbaniyah jilid 1 halaman 396



[12] Al Mughni jilid 1 halaman 307



[13] Mughni Al Muhtaj jilid 1 halaman 63



[14] Hadits yang dhaif



[15] Al Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini adalah dalil yang kuat tentang kesunnahan wudhu.



[16] Al Bukhari mengomentari hadits ini sebagai hadits yang paling shahih dalam masalah ini. Dan Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih berdasarkan syarat dari Bukhari dan Muslim

sumber http://www.hasanalbanna.com/
Sumber : http://detikislam.blogspot.co.id

Seputar Tentang Wudhu’

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Tentang Wudhu’